ilustrasi |
DETEKSI.co - Sejak kemarin, beramai-ramai anggota DPR Komisi IX, mendatangi RSPAD untuk diambil darahnya. Cara kerjanya, setiap orang akan diambil sampel darahnya untuk kemudian dipaparkan dengan kit vaksin yang dibentuk dari sel dendritik.
Kemudian sel yang telah mengenal antigen akan diinkubasi selama 3-7 hari. Setelah itu disuntikkan kembali darahnya ke pemilik darah itu, dan akan terjadilah proses immunitas terhadap virus Covid-19. Katanya dapat berlangsung seumur hidup.
Siapa yang tidak tertarik dengan metode vaksin Nusantara yang katanya produksi anak bangsa sendiri, dengan figur Dr dr Terawan Letjen TNI (Pur), mantan Menkes dan Ka.RSPAD Gatsu, sebagai penggagas. Siapa yang tidak terpesona dengan janji imunitas seumur hidup.
Vaksin Sinovac saja yang belum jelas berapa lama masa efektifnya ( antara 6 bulan sampai 1 tahun), sudah jutaan disuntik mulai Presiden sampai rakyat jelata.
Apalagi mereka yang pernah merasakan terapi DSA dr Terawan umumnya pejabat tinggi, mantan pejabat tinggi, jenderal, mantan menteri, pengusaha, politisi, merupakan target sasaran untuk menjadi relawan uji klinis II yang dilakukan Tim Vaksin Nusantara.
Dan umumnya mereka ikut dalam uji klinis II itu. Termasuk rombongan anggota DPR, walaupun atas nama pribadi masing-masing, tetapi tidak terlepas dari ungkapan "Untuk kepentingan masyarakat".
Yang jadi persoalan, BPOM menyarankan untuk tidak melanjutkan uji klinis II, tetapi kembali ke Pre Klinis ( pada hewan), terkesan dr. Terawan tidak peduli. Maka semula laboratoriumnya di RS dr. Karyadi Semarang, diboyong ke RSPAD Gatsu.
Terkesan dr. Terawan masih sangat "berkuasa" di RSPAD itu.
Setelah diributkan media, baru kemarin dilaporkan kepada KSAD Jenderal TNI Andika. Untuk mendapatkan arahan dan kebijakan lebih lanjut dari KSAD. Pak Andika seakan diberikan muntahan bola panas, yang mau-tidak mau harus merespon, jika tidak menjadi santapan media.
Inti persoalannya sudah jelas, tidak usah pakai bahasa politik, seolah Bu Penny (Ka.BPOM), menghambat program vaksin anak negeri. Yang dibuat oleh peneliti Indonesia.
Ka. BPOM sudah menyampaikan fakta yang tidak terbantahkan, saat dilakukan inspeksi oleh BPOM sesuai dengan tupoksi melakukan pengawasan obat, ke RS Karyadi tempat penelitian dilakukan yakni :
1. Konsep vaksin Nusantara yang diklaim karya anak bangsa, namun ditemui beberapa kejanggalan. Mulai dari tim peneliti yang didominasi orang asing, hingga komponen pembuatan vaksin sel dendritik yang kebanyakan didapat dari komponen impor yang mahal.
2. Tim peneliti asing itu merupakan anggota dari pihak sponsor AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat. Tim peneliti Universitas Diponegoro dan RSUP dr. Kariadi Semarang tak banyak andil dalam proses uji klinis I vaksin nusantara ini.
3. Menemukan banyak kejanggalan saat proses validitas data. Sehingga dinilai tak lolos kaidah dan etika penelitian.
4. Komponen yang digunakan dalam penelitian uji klinis fase I itu tak layak sebenarnya masuk dalam tubuh manusia, sebab komponen bukan termasuk farmasi grade (_Pharmaceutical Grade_)
5. Konsep vaksinasi dendritik ini akan dilakukan di tempat terbuka, padahal sudah seharusnya aktivitas yang memanfaatkan dendritik dilakukan steril dan tertutup.
6. Vaksin Nusantara dilaporkan tidak melalui uji praklinik terhadap binatang, dan langsung masuk uji klinis I terhadap manusia.
7. Antigen virus yang digunakan bukan berasal dari virus corona di Indonesia sehingga tidak sesuai dengan klaim vaksin karya anak bangsa.
8. Masih banyak ketidaksesuaian vaksin Nusantara dengan standar yang seharusnya seperti pada aspek pemenuhan GLP, GCP dan GMP.
9. Data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam _electronic case report form_ menggunakan sistem elektronik dengan nama redcap cloud yang dikembangkan AIVITA Biomedical Inc dengan server di Amerika.
10. Kerahasiaan data dan transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian penelitian, karena tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan AIVITA Biomedical Inc. USA
11. Sebanyak 20 dari 28 subjek (71.4%) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD), meskipun dalam grade 1 dan 2," tulis laporan yang diterima BBC News Indonesia dari BPOM, Rabu (14/04). KTD yang dimaksud adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal.
Dengat fakta-fakta diatas, Bu Penny *menyarankan* sebaiknya penelitian ini dikembangkan dahulu di preklinis sebelum masuk ke uji klinis untuk mendapatkan konsep dasar yang jelas. Sehingga, sambungnya, pada uji klinis di manusia nantinya bukanlah sebuah percobaan yang belum pasti.
Kalimat yang digunakan Bu Penny itu sudah sangat sopan. Karena menghormati dr. Terawan sebagai tokoh nasional, mantan Menkes, yaitu "menyarankan".
Jika seorang ilmuwan dan intelektual, sudah harus memahami maknanya "Jangan diteruskan dulu", tetapi diperbaiki sesuai rekomendasi BPOM. Jika pihak swasta yang lakukan, mungkin sudah dikirim PPNS BPOM dengan Polisi, untuk menertibkannya.
Namun dr. Terawan, tidak kehilangan akal. Jika mengikuti rekomendasi BPOM, tentu memerlukan biaya besar dan belum tentu berhasil di preklinis. Maka diboyonglah peralatan Laboratoeium dari RS dr. Karyadi, ke RSPAD, dengan "Perlindungan" para Dokter Militer, untuk meneruskan penelitian uji klinis fase II.
Di RSPAD ini, disponsori alumni DSA, yang sangat percaya dengan kemampuan dr. Terawan, berbondong-bondong tokoh nasional menyediakan diri sebagai relawan sebagaimana diutarakan diawal tulisan ini.
Bahkan ada 40 anggota DPR lintas fraksi dipimpin Wakil ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, memberikan sampel darahnya untuk dicampur dengan antigen, kemudian bereaksi selama 3-7 hari.
Beberapa hari kedepan akan disuntikan kembali kepemilik darah. Mudah-mudahan tidak terjadi KTD ( Kejadian Tidak Diinginkan). Bayangkan jika KTD nya, diluar yang diperhitungkan, misalnya terjadi kejang-kejang otot, atau hilangnya massa otot sehingga lunglai. RSPAD akan menjadi repot sendiri. Jika KTD nya nyeri-nyeri otot, itu berarti ada sistem syaraf yang terganggu, harus hati-hati, apalagi lansia yang ada komorbid.
Satgas Penanganan Covid-19 melalui Juru Bicaranya Prof. Wiku Adisasmito juga mengingatkan "Dalam berbagai pengembangan vaksin di Indonesia termasuk vaksin Nusantara, harus mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang sudah diakui dan sesuai standar WHO".
Hal yang sama sudah diingatkan Presiden Jokowi Maret lalu, "Saat ini vaksin yang tengah dikembangkan di tanah air adalah vaksin merah putih dan vaksin nusantara, yang terus harus kita dukung. Tapi untuk menghasilkan produk obat dan vaksin yang aman berkahasiat dan bermutu mereka juga harus mengikuti kaidah-kaidah saintifik, kaidah-kaidah keilmuan dan uji klinis harus dilakukan sesuai prosedur yang berlaku terbuka, transparan serta melibatkan banyak ahli," kata Jokowi dalam keterangan, Jumat (12/3/2021).
Bagi BPOM tidak perlu berkecil hati kalau terus mengalami tekanan dari berbagai pihak, apalagi dari Komisi IX DPR. Mereka itu bukan atasan Kepala BPOM, tetapi mitra kerja, harus saling menghargai tupoksi masing-masing. DPR salah satu tugasnya melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pembangunan yang dilakukan pemerintah, bukan jadi relawan vaksin Nusantara dan mendesak-desak BPOM agar Uji Klinis Fase Ii diloloskan.
BPOM itu lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), dibawah dan bertanggung jawab langsung pada Presiden.
Arahan Presiden jelas, lakukan penelitian vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara sesuai kaidah ilmiah.
Badan POM tidak bekerja sendiri, dibantu tim KOMNAS penilai obat dan tim ahli terkait. Sehingga tingkat objektifitasnya tidak diragukan. Saat ini memang Integritas Kepala Badan POM sedang dipertaruhkan.
Kepada dr. Terawan dan Tim Peneliti vaksin Nusantara, cobalah bersabar. Ikuti rekomendasi BPOM sebagai bentuk kepatuhan mantan Penyelenggara Negara kepada Lembaga yang diberikan otoritas oleh Pemerintah, dan sebagai bentuk hormat dan patuh kepada Presiden Jokowi.
Penulis : Dr Chazali H Situmorang, Apt, M.Sc
Cibubur, 17 April 2021
Praktisi Farmasi Komunitas / Anggota Dewas PP IAI/Dosen FISIP UNAS