Pembatalan Tahapan Pilkada Aceh Menandakan Gubernur dan DPR Tidak Bernyali !

Editor: DORHETA author photo

DETEKSI.co - Banda Aceh, Pengamat Politik dan Ekonomi Aceh, Dr Taufiq Abdul Rahim sangat menyayangkan atas permasalahan ketiadaan anggaran untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh tahun 2022, pada hal penyelenggaran Pilkada Aceh tahun 2022 merupakan amanah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang semestinya berlangsung 5 tahun sekali.

Hal tersebut disampaikan oleh Taufiq melalui rilisnya yang dikirimkan ke Deteksi.co, Minggu (4/4/2021). Menurutnya alasan ketiadaan penempatan anggaran Pilkada sekitar Rp 214 milyar, ini sangat aneh, gagal nalar dan tidak logis sama sekali.

Jika dicermati bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) itu lebih Rp 17 triliun, ternyata untuk memenuhi anggaran Pilkada tidak mampu disediakan oleh Pemerintah Aceh, yang semestinya patuh serta konsisten melaksanakan UUPA.

"Aneh, APBA 2021 lebih 17 Triliun tapi untuk anggaran Pilkada yang hanya 214 Milyar saja tidak mampu dipenuhi", ujar Taufiq.

Komitmen Pemerintah Aceh terhadap pelaksanaan Pilkada Aceh yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu lima tahun sekali perlu dipertanyakan. Karena, jika Pilkada yang lalu dilaksanakan 2017, tentunya Pilkada yang akan datang harus dilaksanakan pada tahun 2022.

Masih menurut Taufiq, selama ini rakyat Aceh seringkali disuguhkan dengan retorika bahwa para elit politik dan pemangku kekuasaan Aceh selalu tunduk dan patuh dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun demikian, perilaku "munafik" berlaku ketika ketentuan di Aceh dibenturkan dengan peraturan Pemerintah Pusat, mereka menjadi "keok", konyol tidak berdaya bahkan ketakutan kehilangan jabatan, terutama Guberbur dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menjadi kehilangan nyali dan ketakutan sendiri.

"Jadi omong kosong, jika retorika mereka selama ini sesuai dengan aturan serta hati nurani keinginan politik rakyat Aceh", kata Taufiq dengan ketus.

Kemudian, lanjut Taufiq, jika ditilik APBA bahwa hampir 65-70% digunakan untuk belanja pegawai, yaitu sekitar 830 miliyar diluar dana otonomi khusus (Otsus). Untuk diketahui, ditambahnya dana Otsus ke dalam APBA karena berlakunya UUPA sebagai turunan Memorandum of Understanding (Perjanjian Damai) Aceh.

"Perjanjian Damai ini terjadi akibat adanya tumpahan darah dan nyawa rakyat Aceh yang dikorbankan saat konflik dulu", ujar Taufiq yang juga merupakan salah satu akademisi di Universitas Muhammadiyah Aceh tersebut.

"Hari ini untuk sebuah keinginan patuh kepada UUPA saja mereka tidak mampu melakukannya. Mereka hanya menikmati fasilitas dan pengorbanan rakyat untuk bersenang-senang serta memperkaya diri bersama kelompoknya serta partai politiknya", lanjut Taufiq dengan kesalnya.

Masih dengan nada kesal dan kecewa Taufiq mengatakan bahwa para elit politik dan penguasa Aceh hanya memerlukan rakyat Aceh pada saat-saat tertentu saja. Misalnya pada saat Pemilu dan Pilkada, mereka tanpa malu memelas mengharapkan rakyat memilihnya, jika perlu dengan cara "money politics" agar dipilih, namun setelah menjabat semua keinginan rakyat dan undang-undang dibaikan sama sekali.

"Rakyat Aceh harus mengingat dan mencatatnya, bahwa para elit politik dan pemangku kekuasaan Aceh saat ini adalah, kumpulan para "penipu dan pembohong" yang hanya berfikir untuk dirinya sendiri, kelompok dan partainya saja", pungkas Taufiq dengan geram. (Rob's)

Share:
Komentar

Berita Terkini